Harry Avianto : Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa

SIBER77.ID, RIAU – Suatu hal yang nyata, perkembangan kriminalitas dalam masyarakat telah mendorong lahirnya Undang-undang Tindak Pidana Khusus, yaitu Undang-undang Hukum Pidana yang ada di luar KUHP. Kedudukan Hukum Pidana Khusus dalam Sistem Hukum Pidana adalah pelengkap dari Hukum Pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP.  Demikian halnya terhadap Tindak Pidana Korupsi, bahwa terhadap undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara khusus mengatur hukum acara sendiri terhadap penegakan hukum pelaku tindak pidana korupsi, secara umum dibedakan dengan penanganan pidana khusus lainya. Hal ini mengingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime yang harus didahulukan dibanding tindak pidana lainnya 

 

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur.  Karena itu, tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.  Dengan diantisipasi sedini dan semaksimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakan pada umumnya. 

 

Tindak pidana korupsi mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pada umumnya. Hukum Acara Pidana yang diterapkan bersifat “lex specialist” yaitu adanya penyimpangan-penyimpangan yang dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan memperoleh penyidikan penuntutan serta pemeriksaan disidang dalam mendapatkan bukti-bukti suatu perkara pidana korupsi dan penyimpangan tersebut dilakukan bukan berarti bahwa hak asasi terangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak dijamin atau dilindungi, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga penyimpangan-penyimpangan itu bukan merupakan penghapusan seluruhnya yang terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan hak asasi tersebut dari bahaya yang ditimbulkan korupsi. Sedangkan di pihak lain, sebagi ketentuan umun atau “lex generalis” dalam artian bagaimana melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara korupsi sepanjang tidak diatur adanya penyimpangan dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999, prosesnya identik dengan perkara pidana umumnya yang mengacu KUHAP.

 

Dengan tolak ukur bahwasanya tindak pidana korupsi bersifat tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes) karena bersifat sistemik, endemik yang berdampak sangat luas (systematic dan widespread) yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat luas sehingga penindakannya perlu upaya comprehensive extra ordinary measures sehingga banyak peraturan, lembaga dan komisi yang di bentuk oleh  pemerintah untuk menanggulanginya.

 

Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia hingga tahun 2022 saat ini adalah meningkatnya korupsi, terutama yang berkualifikasi korupsi politik. Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. 

 

Tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan dengan tindak pidana konversional atau bahkan tindak pidana khusus lainnya. Khususnya dalam tahap penyelidikan, tindak pidana korupsi ini, terdapat beberapa institusi penyidik yang berwenang untuk menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini. Termasuk berbagai institusi PPNS jika dikaitkan dengan berbagai kejahatan yang terkandung unsur-unsur korupsi sesuai dengan bidang tugas masing-masing serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan  yang menjadi dasar hukum masing-masing.

 

Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999, bahwa: dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung. Dengan demikian selain Polri selaku Penyidik yang diberikan kewenangan berdasarkan Pasal 6 dan 7 KUHAP, maka Kejaksaan pun diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

 

Selain tugas kepolisian dan kejaksaan, institusi yang juga mempunyai tugas melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sub c UU No. 30 Tahun 2002 bahwa: 

 

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; bahkan KPK  berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaaan, dalam hal terdapat alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002.

 

Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi khususnya dalam proses penyidikan, tidak hanya dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, akan tetapi dalam hal tindak pidana lain yang secara esensial potensial korupsi akan tetapi diatur dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP dan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, diberikan juga kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai dengan ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum masing-masing.

 

Kepolisian Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang dikenal sebagai KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana termasuk perkara pidana khusus korupsi. 

 

Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 10 diinstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai berikut: 

 

  1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang Negara;

  2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum;

  3. Meningkatkan kerjasama dengan   Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi

 

Lembaga lain yang berwenang menurut lingkup tupoksi atau tugas dan fungsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

 

Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagai berikut:

  1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara;

  2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum;

  3. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak  pidana korupsi.

 

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelakasanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan, maka melalui amanat Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Pengadilan Tindak Pidana korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Yang dimaksud “satu-satunya pengadilan” adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum.

 

Konsekuensi logis bahwa tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime, diperlukan penanggulangan dari aspek yuridis yang luar biasa (extra ordinary enforcement) dan perangkat hukum yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini, salah satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan sistem peradilan pidana Indonesia adalah melalui sistem pembuktian yang relatif memadai yaitu diperlukan adanya “pembuktian terbalik” atau “pembalikan beban pembuktian.

 

Bahwa Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Sehingga, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi merupakan aturan yang mempunyai sifat kekhususan, baik menyangkut Hukum Pidana Formal (Acara) maupun Materil (Substansi). Tindak Pidana Korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga penanganannya juga harus secara luar biasa dan pemberantasan tindak pidana korupsi harus dengan caracara yang khusus juga, dengan kata lain bahwa diperlukan suatu penanggulangan dari aspek yuridis yang luar biasa (extra ordinary enforcement) dan perangkat hukum yang luar biasa pula (extra ordinary measures).(red)

 

Exit mobile version